Sebuah SMA khusus untuk anak-anak bermasalah. Seorang guru bertekad keras mendisiplinkan murid-muridnya. Namun di tempat ini, para guru bukan hanya harus mengajar, tapi juga bertahan hidup dari serangan brutal para siswanya.
Cerita dimulai tahun 2009 di sebuah sekolah campur SMP dan SMA. Edwin, seorang siswa SMP berbakat menggambar, sedang membuat sketsa ketika Panca, seorang siswa SMA memuji hasil karyanya. Diam-diam Panca menyukai kakak Edwin yang bernama Silvi -teman Panca- dan menitipkan surat cinta agar Edwin memberikannya. Namun Edwin menolak. Saat Silvi muncul, Panca terlalu canggung untuk menyatakan perasaannya. Bel sekolah mendadak berbunyi lebih cepat dari biasanya, membuat semua murid bingung.
Guru kemudian masuk ke kelas dan mengumumkan bahwa sekolah diliburkan. Alasannya mengejutkan: kerusuhan besar sedang pecah di luar, dan semua murid diminta segera pulang.
Di luar sekolah, Panca sempat menawarkan tumpangan naik mobilnya pada Edwin dan Silvi, tapi ditolak. Ia pun memilih ikut naik bus bersama mereka. Namun di tengah jalan mereka terjebak kemacetan akibat kerusuhan. Situasi semakin mencekam ketika massa yang marah mencari-cari orang keturunan Tionghoa. Begitu melihat Silvi dan Edwin, massa langsung menyerbu. Bus dikepung, Silvi ditarik keluar, sementara Edwin dan Panca hanya bisa berusaha mengejar.
Silvi dibawa ke sebuah gang sempit. Di sana ia menjadi korban kekerasan. Edwin yang mencoba melawan dipukul hingga pingsan, sedangkan Panca diancam dan ditoreh di telapak tangannya sebagai peringatan karena membela orang Tionghoa.
Beberapa jam kemudian Edwin sadar. Ia hanya menemukan pakaian Silvi yang berserakan. Kota sudah porak-poranda. Untuk menyamarkan dirinya, Edwin menghitamkan wajah dengan arang agar tidak dikenali. Saat tiba di rumah, ia mendapati rumah keluarganya sudah hangus dibakar.
Cerita melompat ke tahun 2027. Sentimen anti-Tionghoa masih ada, meski tidak separah dulu. Hanya segelintir orang yang masih menyimpan kebencian. Edwin kini dewasa, mencoba melamar sebagai guru di SMA Duri.
Kepala sekolah, Pak Darmo, mengaku banyak guru mundur karena tak tahan dengan murid-murid nakal di sana. Hari itu Edwin langsung mulai mengajar. Ia menghadapi kelas yang kacau, dipenuhi murid berandalan. Dengan sikap tegas, ia berhasil membuat mereka diam. Namun, salah satu murid bernama Jefri menjadi lawan utamanya. Jefri menantang, bahkan berusaha menyerang Edwin dengan lemparan potongan kayu. Edwin tak gentar, bahkan mempermalukannya di depan kelas.
Edwin kemudian berkenalan dengan guru lain, Diana.
Di luar sekolah, Jefri dan gengnya kembali beraksi, mencari murid keturunan Tionghoa untuk disiksa — mengulang kebiadaban masa lalu. Sementara itu, Edwin pergi sebuah tempat hiburan tersembunyi milik komunitas Tionghoa, tempat ia sering berkunjung. Pelayan bernama Vera memperingatkannya agar tetap waspada, karena doa saja tidak cukup untuk bertahan hidup.
Sepulang dari sana, Edwin menyaksikan muridnya, Kristo, dikeroyok oleh sekelompok geng pemuda Tionghoa. Ia menolong Kristo. Dia mulai mencurigai bahwa Kristo mungkin adalah anak Silvi — hasil dari peristiwa tragis masa lalu. Pesan terakhir Silvi di rumah sakit dulu masih terngiang: anak itu kini besar dan bersekolah di SMA Duri.
Esoknya di kelas, Edwin makin sering berseteru dengan Jefri. Ketika Jefri menolak tugas menggambar, Edwin menantangnya, membuat Jefri nyaris memukulnya. Edwin mengancam akan melaporkannya ke kepala sekolah. Di perpustakaan, Diana menemui Edwin dan mengajaknya mengobrol. Mereka lalu sepakat untuk pergi ke bar sepulang sekolah.
Di bar, Vera dan pengunjung lainnya memandang sinis pada Diana karena dia adalah pribumi. Sementara itu, siaran di TV menyiarkan berita tentang benih-benih kerusuhan yang mulai muncul.
Sepulang dari bar, edmin yang sedang berjalan sendirian tiba-tiba diserang oleh Jefri yang memakai topeng. Edwin menyerangnya menggunakan pisau. Namun senjata itu justru melukai kakinya dirinya sendiri. Jefri dan gengnya pun kabur.
Esoknya, Edwin melaporkan Jefri. Kebenaran terbongkar lewat luka di pahanya, Jefri dikeluarkan dari sekolah. Hal ini membuat Jefri semakin dendam. Anggota gengnya ikut keluar bersama dirinya. Sepulang sekolah, Edwin mengajak Kristo dan Rangga untuk masuk besok, meski besok adalah hari libur. Mereka berencana memasang dekorasi karya seni anak-anak di dinding kelas. Malamnya, Diana menelepon Edwin, mengajaknya bertemu. Namun Edwin menolaknya dan mengajaknya bertemu di sekolah keesokan harinya.
Paginya, mereka berempat bertemu di sekolah. Namun, berita di TV kembali menyiarkan kerusuhan yang kembali pecah. Dua orang satpam yang menjaga sekolah tersebut buru-buru pulang ke keluarga mereka. Di saat yang sama, Jefri dan gengnya yang membawa senjata tajam datang memburu Edwin. Mereka mengunci bangunan sekolah dari dalam.
Setelah adegan kejar-kejaran beberapa saat, Edwin dan yang lainnya berhasil mengunci diri mereka di ruangan hall. Pintu besi yang tebal membuat Jefri dan gengnya gagal mendobraknya.
Mereka berempat ketakutan, Kristo mengungkapkan bahwa Jefri pernah membunuh salah satu teman mereka yang selama ini dianggap hilang. Jefri pernah mengirim videonya ke ponsel Kristo, tapi Kristo tidak berani membukanya. Mereka akan melihat videonya, namun gagal karena tidak ada sinyal. Sementara itu Jefri dan gengnya terus berteriak dan menggedor-gedor pintu.
Keadaan semakin mencekam ketika Ayah Rangga, Abduh, datang ke sekolah untuk mencarinya. Geng Jefri segera menyandera Abduh, mengancam akan membunuhnya jika mereka tidak segera keluar. Pada satu kesempatan negosiasi, Edwin berhasil menarik Abduh masuk ke ruangan hall. Hal itu semakin membuat Jefri murka. Di negosiasi kedua, Edwin meminta mereka agar melepaskan Abduh dan Rangga, dan dia akan menyerahkan diri.
Namun ternyata, Jefri malah menyiksa Abduh, bahkan membakarnya hidup-hidup di depan mata Rangga. Saat mencoba kabur, Rangga pun terbunuh. Kekejaman Jefri semakin menjadi-jadi, dan bahkan salah satu temannya, Sim, yang mulai ragu, ikut dibunuhnya.
Di dalam hall, Edwin dan Diana mencoba mencari jalan keluar. Edwin akhirnya mengaku pada Diana: tujuan sebenarnya ia mengajar di SMA Duri adalah untuk menemukan keponakannya, anak dari Silvi. Firasatnya mengarah ke Kristo.
Mereka menemukan cerobong, Edwin berhasil sampai ke ruang security dan mendapatkan kunci pintu darurat. Sementara Jefri yang curiga mulai mengelas pintu hall.
Edwin, Diana, dan Kristo berhasil kabur melalui cerobong dan bersembunyi di ruang lab. 2 anggota geng masuk ke lab dan menghancurkan barang-barang di sana. Edwin menyerahkan kunci pintu darurat pada Diana dan Kristo sambil berbisik bahwa dia akan memancing mereka. Dia membawa ponsel Kristo agar mereka bisa saling berhubungan saat nanti mendapat sinyal.
Saat itu, Diana menyampaikan tujuan Edwin tentang keponakannya pada Kristo. Namun Kristo menolak, mengatakan ayahnya orang Malaysia dan ibunya bekerja di luar negeri.
Dalam aksi kejar-kejaran dan perkelahian sengit, Edwin berhasil melumpuhkan empat anggota geng Jefri. Puncaknya, dia berhadapan langsung dengan Jefri. Jefri terpojok, 3 anggota gengnya memilih melarikan diri. Akhirnya, Jefri tewas di tangan Edwin.
Di tengah kekacauan itu, para penjarah dari kerusuhan di luar mulai masuk ke sekolah. Saat itulah Edwin melihat sebuah video di ponsel Kristo. Video itu adalah rekaman pembunuhan yang dilakukan Jefri sebelumnya. Dalam video itu, sang korban mengejek Jefri dengan menyebutnya “anak keturunan Cina di mana ibunya diperkosa oleh warga pribumi.”
Seketika, Edwin menyadari kebenaran yang paling mengerikan dan tragis: Jefri adalah keponakannya, putra dari Silvi, anak yang selama ini ia cari. Ia telah tumbuh menjadi perwujudan dari kebencian dan trauma yang sama yang telah menghancurkan keluarga mereka.
Edwin, yang dikenali sebagai orang Tionghoa oleh para penjarah, terpaksa melarikan diri. Ia berhasil keluar dari gerbang sekolah dan secara kebetulan diselamatkan oleh seorang pengendara mobil yang baik hati. Pengendara itu adalah Panca, teman masa kecilnya. Edwin melihat bekas luka goresan di tangan Panca, sebuah pengingat abadi dari tragedi di masa lalu. Namun, Edwin memilih untuk tetap diam dan tidak mengungkapkan identitasnya.