Kenara, seorang mahasiswi tari, pergi ke Desa Kelawangin bersama sahabatnya, Ayu. Di sana, ia terjebak dalam teror tarian kuno Narik Sukmo, yang diyakini mampu membuka gerbang arwah dan membawa kutukan. Perlahan, terungkap pula rahasia kelam desa itu, tragedi dua puluh tahun silam yang menimpa pasangan Banyu Janggala dan Ratimayu akibat fitnah dan amarah warga.
Kenara, mahasiswi asal Jakarta yang melanjutkan studinya di Yogyakarta, mendapati dirinya berada di sebuah gedung tua tak berpenghuni. Bau debu dan udara lembap memenuhi ruangan. Dari kegelapan, muncul sosok wanita yang menari perlahan di hadapannya. Gerakannya anggun, namun matanya kosong, tak berjiwa.
Kenara mencoba mendekat, berusaha mengajak bicara, namun tak ada sambutan. Tiba-tiba sosok itu berhenti menari, menoleh, dan menunjukkan eksistensinya yang menyeramkan. Suasana mencekam semakin kuat ketika dari belakang muncul bayangan hitam raksasa yang mendekat dengan cepat. Ketakutan memuncak membuat Kenara terbangun, napasnya memburu. Itu hanya mimpi buruk… atau mungkin pertanda?
Kenara tinggal di sebuah kos khusus putri milik Ibu Maimuna. Malam itu, ia keluar kamar hanya untuk mengisi botol air. Sunyi, hingga suara langkah mendekat dari belakang membuat bulu kuduknya merinding. Ia menoleh dengan hati berdebar, namun ternyata itu hanya Ayu, sahabat sekaligus teman sekosnya.
Ayu datang dengan wajah ceria, membawa kejutan kecil: kue sederhana sebagai tanda ulang tahun Kenara. Setelah tawa reda, obrolan berubah lebih serius. Ayu bertanya kenapa Kenara tak pulang ke Jakarta saat liburan. Kenara menjawab singkat: ia malas bertemu mantan pacarnya—seorang penari—yang pernah menghancurkan hatinya dengan berselingkuh bersama teman sesama penari. Sejak saat itu, Kenara berhenti menari.
Kos yang mulai sepi membuat Ayu mengajak Kenara liburan ke kampung halamannya, Desa Kelawangin. Nama desa itu terdengar familiar di telinga Kenara. Ayu menjelaskan bahwa desanya memang terkenal sebagai desa para penari.
Kenara penasaran, lalu mencari informasi lewat ponselnya. Ia menemukan artikel tentang desa itu: benar, Kelawangin telah melahirkan banyak penari profesional. Namun satu artikel mencuri perhatiannya—tentang hilangnya seorang penari muda bernama Mayang, sepuluh tahun lalu, yang tak pernah ditemukan.
Keesokan harinya, sebelum berangkat bersama Ayu, Kenara mampir ke sebuah toko barang antik. Di dalamnya penuh benda-benda tua berharga. Pandangannya jatuh pada sebuah selendang indah di atas meja. Saat itu, seorang nenek tiba-tiba muncul di belakang, menatapnya dengan mata keriput yang tajam.
“Selendang sudah memilih temannya sendiri. Siapa yang terpilih akan terikat selamanya,” ucap nenek itu sambil memakaikan tusuk konde ke rambut Kenara.
Kaget, Kenara keluar tergesa. Ia bercerita pada Ayu bahwa nenek itu memberinya selendang secara cuma-cuma. Namun yang tidak ia tahu, toko itu sebenarnya sudah lama kosong dan disewakan.
Kenara meletakkan selendang dan tusuk konde di lemarinya sebelum berangkat. Ia tak menyadari, benda itu telah memilihnya.
Perjalanan panjang membawa mereka ke gerbang desa. Hujan deras turun, memaksa mereka menepi, namun Ayu bersikeras melanjutkan. Tak lama kemudian, rumah keluarga Ayu terlihat. Ibu menyambut hangat, sementara sang ayah, Prasmono, justru dingin dan kaku. Wajahnya tanpa senyum, hanya tatapan penuh jarak.
Malam itu, Kenara mendengar suara dari sebuah kamar. Saat hendak membuka pintu, Prasmono muncul tiba-tiba, melarang keras. Itu kamar Banyu, adiknya yang telah lama meninggal.
Di kamar Ayu, Kenara terkejut menemukan selendang dan tusuk konde berada di dalam tasnya. Padahal ia yakin benda itu tertinggal di lemari kos. Kata-kata sang nenek kembali terngiang: “Terikat selamanya.”
Malam semakin mencekam. Prasmono duduk termenung di ruang makan, wajahnya muram. Dalam tidurnya, ia didatangi sosok hitam yang memeluknya dari belakang. Ia terbangun dengan keringat dingin, menatap foto mendiang adiknya, Banyu.
Keesokan harinya, Ayu mengajak Kenara ke sanggar tari desa, Laras Budoyo. Di sana mereka bertemu Bu Sarti dan Dirja, seorang penabuh gamelan. Dirja jelas tertarik pada Kenara, pandangannya tak bisa lepas.
Ayu menceritakan bahwa Kenara dulunya penari, namun Kenara menolak untuk menari lagi. Saat gamelan berbunyi, Kenara melihat sosok penari misterius di kejauhan. Begitu ia menoleh, sosok itu lenyap.
Di rumah, Prasmono bicara pada istrinya tentang firasat buruk. Ia merasa arwah Banyu kembali, mungkin berkaitan dengan hilangnya Mayang sepuluh tahun lalu.
Malamnya, Kenara bermimpi buruk lagi. Sosok hitam mengejarnya, suara sinden menggema. Ia terbangun di lorong rumah, mendengar suara dari kamar terlarang. Pintu yang tadinya terkunci, terbuka sendiri. Di dalamnya, ia melihat sosok penari bersinden dengan wajah pucat. Itu kamar Banyu.
Keesokan hari, Ayu menjelaskan: Banyu pernah punya kekasih, Ratih Mahyu, yang mati bunuh diri setelah Banyu dibakar hidup-hidup oleh warga desa karena dituduh meracuni hasil panen. Sejak itu, dipercaya setiap 10 tahun sekali arwah Banyu dan Ratih akan menuntut korban seorang penari. Korban pertama adalah Mayang, adik Dirja.
Malam berikutnya, Kenara mendapati dirinya terjebak di kamar Banyu. Ia menemukan secarik kertas bertuliskan: “Dua jiwa, satu cinta, satu pembalasan. Narik Sukmo.” Tubuhnya mulai bergerak sendiri mengikuti tarian. Ia menangis, menolak, namun suaranya hanya menggema. Ratimayu, dengan suara dingin, memaksa dirinya menari. Tubuh Kenara melayang di udara, kerasukan. Prasmono dan keluarganya mencoba mendobrak pintu, hingga akhirnya aura gaib memecahkannya.
Ketakutan membuat Ayu ingin membawa Kenara pulang ke Jogja. Namun dalam perjalanan, mereka diculik pemuda desa. Saat sadar, Kenara berada di rumah Dirja. Dirja menuduh bahwa semua ini ulah Prasmono. Desa terbagi dua kubu: kelompok Prasmono dan kelompok Adi, tokoh berpengaruh.
Prasmono sendiri semakin terganggu oleh penampakan Banyu. Ia mendatangi makam adiknya, memohon agar jangan menyakiti Ayu.
Di sisi lain, Adi bersiap melakukan ritual. Kenara dibawa ke sanggar tari, diikat bersama Prasmono. Dirja, meski hatinya goyah, memilih membantu kelompoknya. Namun bisikan Ratih kembali terdengar, menyuruh Kenara menari. Ajaib, ikatannya terlepas. Gerakan Narik Sukmo mulai terpancar dari tubuhnya.
Adi berusaha mengakhiri semuanya dengan membunuh Kenara, namun Dirja justru berbalik melawan. Pertarungan sengit terjadi. Minyak tanah menyembur, api melahap tubuh Adi—ia terbakar hidup-hidup, sama seperti yang ia perbuat pada Banyu.
Dalam dunia gaib, Ratih dan Banyu muncul, berterima kasih kepada Kenara. Dendam mereka akhirnya tuntas.
Keesokan paginya, Prasmono ditemukan tewas, tubuhnya lemah setelah malam panjang penuh tragedi. Ia dikebumikan dengan wajah tenang.
Sebelum pulang, Kenara melempar selendang Ratimayu ke sungai. Arus deras membawanya pergi, seolah menghapus ikatan kutukan.
Saat berdiri di gerbang desa, Dirja menghampiri. Ia mengatakan tak punya siapa-siapa lagi di Kelawangin, dan memilih ikut ke Jogja. Di kota itu, katanya, ada masa depan yang harus diperjuangkan.